.post-body img { max-width:100%; height:auto; } RAK KOLEKSI pok -: MEMENTO MORI

Tuesday, August 27, 2019

MEMENTO MORI

Memento mori, kewan opo to kuwi ???

Secara harafiah ungkapan bahasa latin ini bisa diterjemahkan sebagai "MENGINGAT KEMATIAN". Secara pribadi saya suka sekali dengan frase yang kedalaman filosofisnya bisa dikatakan bersifat universal ini, melampaui batasan sekat² ajaran agama. Tak kurang dari inti ajaran tasawuf dalam Islam, agama yang saya imani, pun mengajarkan umatnya untuk selalu mengingat tentang kematian. Senada juga dengan ungkapan bijak orang² Jawa yang mengatakan : "Urip kuwi mung mampir ngombe", hidup ini cukma sekejap, diibaratkan seperti orang yang berhenti sebentar untuk minum, sebelum melanjutkan perjalanannya kembali. Waktu yang diperlukan untuk sekedar meneguk minum itulah waktu hidup kita di alam fana ini, sementara perjalanan keseluruhannya adalah waktu yang kita tempuh dalam laku untuk kembali ke Sumber Asal ruh kita, Sangkan Paraning Dumadi.

Ada juga sufi yang mengibaratkan manusia² yang hidup di dunia saat ini sejatinya tak lain dan tak kurang seperti mayat² hidup yang berjalan di muka bumi, karena sebenarnya hidup mereka dimulai justru tepat setelah kematiannya. Hidup setelah mati, itulah hidup kita yang sebenarnya.

Jadi, untuk apa sebenarnya kita mengingat kematian kita sendiri? Untuk me-refresh kembali memori spiritual kita agar kembali mengingat makna sejati tujuan kita hadir di alam kefanaan ini - yang sejatinya singkaaat sekali, laksana sekerjap mata belaka. Kita tahu bahwa sinar tipuan duniawi memang senyatanya menyilaukan sekali, sehingga kadang mengeruhkan - atau bahkan dalam banyak kasus membutakan - penglihatan mata spiritual kita.

Sebagai penyebab atau perangkat pengingat, bisa melalui banyak hal/peristiwa. Yang paling mudah salah satunya adalah peristiwa kematian orang² yang dekat dalam lingkar hidup kita. Manakala ada seorang kerabat/saudara meninggal, lalu kita mengucap اِنّا لِلّهِ وَاِنّا اِلَيْهِ رَجِعُوْنَ pada saat itulah sebetulnya momen yang paling mudah untuk mengingatkan lagi kepada diri sendiri, betapa kita sendiri juga akan "segera" mengalaminya juga.

Hmmm... pembahasan yang agak terlalu berat kayaknya ya hehehe. Gpp lah, sekali² perlu lah mengolah dan menafkahi pengetahuan batin kita, agar segala polah hidup ini tidak hanya jadi sekedar seperti kera berjingkrak² tanpa makna.

Ini ringan, tapi masih ada benang merahnya dengan topik kali ini, tentang syair sebuah lagu dari penyanyi Iwan Fals. Lho, apa hubungannya dengan memento mori ya?? Sabar dulu jèk....

Sebuah lagu dengan judul "Satu-satu", ada di album "Orang Gila" yang dirilis tahun 1994, saya suka sekali mengingat lagu Iwan Fals ini berbarengan dengan ucapan اِنّا لِلّهِ وَاِنّا اِلَيْهِ رَجِعُوْنَ yang saya ucapkan setiap kali orang² dekat saya satu persatu dipanggil mendahului saya. Boleh dibilang lagu inilah yang saya jadikan memento more kekinian saya, sampai saat ini. Lagunya sih biasa saja, cenderung tidak enak malah hahaha.... namun saya suka banget dengan kedalaman makna dan pesan yang hendak disampaikan sang penyanyi melalui liriknya. Mak jleeb rasane ning ati lan manah.... Pengkiasan orang² meninggal seperti daun² layu yang berguguran, kesemelehan menghadapi peristiwa kematian selayaknya peristiwa yang Sunatullah banget, tak lebih dan tak kurang hanyalah sebuah peristiwa pergantian generasi dan harapan, melalui tumbuhnya tunas² muda setelahnya, dalam sebuah orkestrasi perjalanan besar kehidupan secara makro. Sungguh, memaknai lagu ini secara dalam seyogyanya bisa menjadikan penghibur juga, pelipur duka atas perginya orang² terdekat. Dua sisi manfaat dalam sekali rengkuh bisa kita ambil dari lagu ini, sebagai alat perenungan dan sebagai sarana penghibur hati. Terima kasih bang Iwan 🙏🙏🙏

Berikut kutipan lengkap syair lagu tersebut 👇

SATU-SATU
Iwan Fals, album Orang Gila (1994)

Satu-satu daun berguguran
Jatuh ke bumi dimakan usia
Tak terdengar tangis
Tak terdengar tawa
Redalah reda

Satu-satu tunas muda bersemi
Mengisi hidup gantikan yang tua
Tak terdengar tangis
Tak terdengar tawa
Redalah reda

Waktu terus bergulir
Semuanya mesti terjadi
Daun-daun berguguran
Tunas-tunas muda bersemi

Satu-satu daun jatuh ke bumi
Satu-satu tunas muda bersemi
Tak guna menangis
Tak guna tertawa
Redalah reda

Waktu terus bergulir
Kita 'kan pergi dan ditinggal pergi
Redalah tangis, redalah tawa
Tunas-tunas muda bersemi

Waktu terus bergulir
Semuanya mesti terjadi
Daun-daun berguguran
Tunas-tunas muda bersemi


PS :
Artikel ini saya tulis dalam bingkai memaknai berpulangnya kakak ipar, Ps. Samuel, tanggal 14 Agustus lalu (dua minggu yang lalu), setelah beberapa waktu - yang relatif tidak lama - menuntaskan perjuangannya melawan derita kematian, dimana sesungguhnya sakaratul maut itu sejatinya juga adalah keniscayaan bagi kita semua




May you rest in peace Pastur, koh Sam
You're do such a good man


SALAM PUSTAKA

2 comments: