Hari ini kita sudah berada di bagian pertengahan bulan Ramadan. Sebentar lagi kita akan merayakan Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1440 H.
Seperti pengalaman² terdahulu, beberapa kali kita masih saja diributkan dengan perbedaan penentuan awal bulan. Seperti ungkapan dari pak Agus Mustofa : "ini seperti penyakit yang kemudian diabaikan, alih² mengobati sumber penyakitnya, malah kemudian bilang: ah cuma sakit begini aja, gpp... nanti juga kan sembuh sendiri". Owemjiih helloooow 😨
Tidak bisa begitu, mestinya... Tidak bisa kemudian kita hanya terus mengatakan pada umat : perbedaan itu biasa, sikapilah dengan dewasa. Menurut saya sih kayaknya bukan umat deh yang tidak dewasa dalam hal ini, justru yang bilang itu yang gak dewasa² wakakakak 🙏 kita-kita umat yang dibawah ini mah santai aja. Kami sudah dewasa bung, sudah mendarah-daging dalam benak kami orang Indonesia sejati bagaimana bersikap & menyikapi perbedaan diantara kami. Yang jadi masalah kan, lah kenapaaaa kok terus menerus berbeda?? Padahal sebenarnya kalau mau dicari titik temunya mudah kok - seperti kata Gus Tofa - yang susah itu menurunkan ego masing² kelompok!
Tapi OK lah, saya tidak ingin semakin memperkeruh perdebatan itu. Saya bukan ahli agama, juga bukan ahli ilmu falak/astronomi. Tulisan kali ini saya cuma ingin sekedar berkontribusi, sharing sesuatu, barangkali bisa membantu khalayak awam untuk sedikit lebih memahami, kenapa bisa sampai terjadi situasi seperti sekarang ini. Syukur² kalau dengan materi sharing kali ini bisa menggugah para pengambil keputusan, untuk segera mencari jalan keluar yang sebaik²nya, bagi umat secara keseluruhan... bukan hanya untuk satu golongan saja.
Disini saya melakukan "sedikit usaha kecil tidak berarti" : mencoba mensimulasikan (jika situasinya masih sama seperti sekarang) kapan saja sih terjadinya "potensi" perbedaan dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri?
Proses tabulasi saya buat dengan merekapitulasi hasil perhitungan (hisab falaqi) waktu² tersebut, sampai range beberapa tahun ke depan. Disini saya baru menghitung sampai tahun 2050 saja (mengingat agak kejar tayang materi yang ini, mengambil moment sebelum datangnya lebaran Idul Fitri besok). Tadinya sebetulnya cita² saya pengin menghitung sampai tahun 2100, dengan pertimbangan saya bisa mewariskan hasil kerja ini untuk putri saya tercinta, sampai dia berumur 97 tahun! Wkwkwkwk... Tapi apa daya, karena satu dan lain hal akhirnya ya cuma sampai tahun 2050 dulu ini saja lah yang saya launch dulu. Mungkin nanti kalau berikutnya ada waktu senggang اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ saya lanjutkan project sisanya. Lihat ntar aja deh... Atau mungkin ada pembaca yang berminat untuk "mengambil alih", melanjutkan perhitungan, atau melakukan koreksi? Monggo, dipun sekecakaken. Saya welcome kemawon...
Oyah, dalam project ini untuk keseluruhan proses perhitungannya saya menggunakan software Accurate Hijri Calculator versi 2.2.1, karya dari seorang anak bangsa : Abdurro'uf (dulu mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, entah sekarang). Tentang software ini bisa saya ceritakan sedikit, dibuat dengan mengadopsi sebuah software yang sudah sangat terkenal akurasinya, banyak digunakan sebagai acuan dalam dunia astronomi, terutama di negara² Islam. Nama programnya Accurate Times, dibuat oleh Mohammad Odeh, seorang ahli ilmu falaq dari Turki. Beliau ini juga sekaligus sebagai chairman International Astronomical Center (IAC). Software Accurate Times juga digunakan sebagai official software di Kementerian Agama Islam di negara Jordan & Uni Emirate Arab.
Program Accurate Times (dan dengan sendirinya juga berarti program Accurate Hijri Calculatornya Abdurro'uf) dibuat dengan menggunakan algoritma Jean Meuus (yang juga umum digunakan sebagai algoritma standard oleh NASA & lembaga² astronomi dunia lainnya), disusun khusus untuk menghitung prayer times (waktu² peribadatan agama Islam seperti shalat, puasa Ramadan, dll), terutama untuk kebutuhan penentuan waktu peribadatan dan hari² besar keagamaan di negara² jazirah sana.
Nah si anak bangsa ini - Abdurro'uf - mengadopsinya dan membuat program sejenis, khusus untuk perhitungan waktu lokal Indonesia. Sungguh program yang sangat berharga sebetulnya. Namun entah kenapa kok belum terdengar gaungnya penggunaan software ini di Indonesia sendiri.
Berbicara mengenai khususnya carut-marut penentuan waktu awal Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal, secara garis besar di Indonesia saat ini terbagi menjadi 3 golongan utama, dengan metode, kriteria dan dalil landasannya masing², yaitu :
1. Metode Rukyatul Hilal. Terutama dianut oleh golongan Nahdlatul Ulama (NU). Dasarnya adalah visibilty hilal. Kriteria yang digunakan mengacu pada teorema Danjon, bulan bisa terlihat minimal dengan ketinggian 8° diatas ufuk.
2. Metode Wujudul Hilal. Terutama dianut oleh golongan Muhammadiyah (dan Persis). Dasarnya adalah hisab falaqi (murni perhitungan astronomis). Kriteria yang digunakan adalah wujud tidaknya hilal. Bulan baru dimulai pada saat bulan sudah wujud (terbitnya bulan baru sebelum terbenamnya matahari), berapapun derajat ketinggiannya, sepanjang lebih dari 0°.
3. Metode Imkanur Rukyat. Ini merupakan bentuk kompromi dari kedua kutub metode diatas. Ini digunakan sebagai metode resmi Pemerintah RI. Dasarnya adalah penentuan bulan baru didasarkan pada hasil hisab secara astronomi, dan pembuktian dengan pengamatan dilapangan. Kriteria yang digunakan adalah 2-3-8, tinggi minimal hilal 2°, elongasi 3°, dan umur bulan minimal 8 jam. Kriteria ini juga yang dipakai di negara² Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Brunei, dll.
Selengkapnya untuk menambah wawasan tentang hal ini, saya merekomendasikan bukunya pak Agus Mustofa "(Jangan Asal Ikut-ikutan) Hisab & Rukyat", boleh juga ditambahin judul lainnya "Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari". Bukunya yang lain dari seri Tasawuf Modern juga bagus² kok 😁, saya koleksi dan sudah baca beberapa buku² beliau, mantuuul... (OOT).
Tentang dalil landasan, atau yang mana yang paling benar untuk diikuti, saya serahkan kepada keyakinan pribadi masing² pembaca. Yang penting dalam hal ini, seperti kata Gus Tofa, anda memahami sepenuhnya apa yang anda yakini dan laksanakan. Tidak sekedar beribadat grubyak-grubyuk tanpa tahu apa makna & esensinya bagi anda pribadi. Nanti jadi seperti permainan anak² : grubyak-grubyuk meraba², mata ditutup, mencoba menangkap temannya.
Sebagai bahan referensi lain, boleh juga anda baca² link² berikut ini, saya coba ambilkan yang mewakili masing² "mahzab" :
Kembali ke laptop...
Targetnya sederhana, cuma membuat daftar/tabel waktu² terjadinya kedua momen tersebut (1 Ramadan & 1 Syawal) untuk satu rentang waktu ke depan, kemudian menandai hari² dimana akan terjadi perbedaan dalam pelaksanannya. Sesederhana itu..
Sedikit saya tulis disini hasilnya, untuk moment terdekat saja, yaitu Lebaran/Hari Raya Idul Fitri besok mendatang ini, tahun 2019/1440H. Ramadan tahun ini kebetulan kita awali bersama², yaitu pada hari Senin tanggal 6 Mei 2019. Namun berbeda dengan awal Ramadannya, hari raya Idul Fitri nanti - jika sesuai hasil perhitungan - BISA JADI kita akan merayakannya pada hari yang berbeda. Saya katakan "bisa jadi" karena dalam prakteknya mungkin saja hasil perhitungan saya meleset (yang menurut saya agak mustahil kemungkinannya hehehe...), atau karena dengan pertimbangan "ini & itu" maka pihak yang berbeda kemudian memutuskan untuk tidak berbeda, who knows? 😁. Nah kalau dari hasil perhitungan saya, terlihat bahwa pelaksanaan shalat Idul Fitri nanti akan berbeda hari, versi Pemerintah akan jatuh pada hari Rabu, 5 Juni 2019, sementara umat Muhammadiyah MUNGKIN sehari sebelumnya, yaitu hari Selasa 4 Juni 2019. Kenapa demikian? Karena dari hasil perhitungan saya bisa mengetahui, bahwa peristiwa konjungsi/new moon (bumi-bulan-matahari berada dalam 1 garis geosentris) - dalam bahasa Arab disebut Ijtimak (lihat wikipedia untuk "ijtimak") - terjadi pada hari Senin 3 Juni 2019 jam 17:01:51 WIB, atau sekitar 00jam:16menit:52detik SEBELUM terjadinya waktu pergantian hari jam 17:18:47 (dalam kalender Hijriyah waktu pergantian hari adalah pada saat Maghrib/sunset/matahari terbenam). Catatan : penghitungan ini menggunakan data lokasi pengamatan Kota Surabaya sebagai input lokasi pada software. Nah, dari hasil tersebut bisa disimpulkan :
- Metode Wujudul Hilal akan berkesimpulan bahwa HILAL SUDAH WUJUD, karena fakta empirisnya adalah bulan sudah terbit di atas ufuk, berapapun derajat ketinggiannya atau umurnya. Berarti saat itu sudah masuk bulan baru (tanggal 1), dalam hal ini 1 Syawal 1440 H. Jadi puasa Ramadan sudah berakhir dan besok pagi sudah bisa melaksanakan shalat Idul Fitri.
- Dilain pihak yang berpegang pada kriteria visibility bulan yaitu Metode Rukyat akan berkesimpulan hilal PASTI tidak akan bisa dirukyat, karena umur & tingginya yang jauuuh dibawah kriteria yang dipersyaratkan (tinggi 8⁰, umur 8 jam). Jadi bisa dipastikan golongan yang menggunakan metode & kriteria ini akan berhari raya Idul Fitri lusa, 2 hari setelah waktu pengamatan. Karena bulan sudah pasti tidak terlihat, maka ditempuh istikmal (penggenapan), berarti besok masih berpuasa Ramadan sehari lagi.
- Bagaimana dengan pihak Pemerintah dengan Imkanur Rukyatnya? Mohon maaf, terus terang saya sampai saat ini juga masih bingung dengan ambiguitas kriteria Imkanur Rukyatnya Pemerintah ini. Disatu sisi sudah "mengakomodasi" kepentingan hisab falaqi dengan menurunkan kriteria ketinggian hilalnya sampai 2⁰ sebagai batas minimal, namun dilain hal mensyaratkan juga batas umur minimal bulan adalah 8 jam?? Padahal kalau umur bulan sebesar 8 jam tersebut dikonversikan menjadi derajat ketinggian = 8⁰. Jadi masih tetap dong dengan kriteria lama standard Danjon yang 8⁰ itu?? Ada yang bisa memberi penjelasan kepada saya? .... Karena ambiguitas ini, maka dalam proses penyusunan tabulasi yang saya lakukan, saya harus memilih salahsatu kriteria sebagai patokan. Saya pilih persyaratan batas minimal 2⁰, atau 2:0:0 umur hilal sebagai limitasi. Jadi dengan melihat pada kriteria ini bisa dipastikan Pemerintah (melalui perangkat sidang itsbatnya) akan kerepotan bin pontang-panting mencari si hilal dimana-mana 😂. Karena ketinggian/umurnya yang beberapa menit saja bisa dipastikan MUSTAHAL eh MUSTAHIL sang hilal bisa ketangkep. Jadi bisa dipastikan kesimpulan sidangnya adalah akan sama dengan yang melaksanakan metode Rukyat, yaitu berhari raya Idul Fitri hari Rabu 5 Juni 2019 (lusa hari dari hari pengamatan).
Mana yang paling benar diantara kedua/ketiganya? Wallahu ta'ala bissawaab... Entah siapa, dan kapan, yang akan bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan yang super duper pelik itu. Untuk sementara waktu, kita para umat di akar rumput ini ya monggo lah berbijak² menyikapinya, tetap saling bertoleransi, rukun, tapi juga terus menggali pemahaman yang lebih mendalam tentang keyakinannya sendiri. Tetap banyak hal yang masih harus dipelajari, bersama², kita semua....
Wassalamu 'alaikum
Taqabalallahu mina wa minkum
Tabel & software silahkan ambil disini : 👇
Jangan pernah berhenti belajar
SALAM PUSTAKA
Seperti pengalaman² terdahulu, beberapa kali kita masih saja diributkan dengan perbedaan penentuan awal bulan. Seperti ungkapan dari pak Agus Mustofa : "ini seperti penyakit yang kemudian diabaikan, alih² mengobati sumber penyakitnya, malah kemudian bilang: ah cuma sakit begini aja, gpp... nanti juga kan sembuh sendiri". Owemjiih helloooow 😨
Tidak bisa begitu, mestinya... Tidak bisa kemudian kita hanya terus mengatakan pada umat : perbedaan itu biasa, sikapilah dengan dewasa. Menurut saya sih kayaknya bukan umat deh yang tidak dewasa dalam hal ini, justru yang bilang itu yang gak dewasa² wakakakak 🙏 kita-kita umat yang dibawah ini mah santai aja. Kami sudah dewasa bung, sudah mendarah-daging dalam benak kami orang Indonesia sejati bagaimana bersikap & menyikapi perbedaan diantara kami. Yang jadi masalah kan, lah kenapaaaa kok terus menerus berbeda?? Padahal sebenarnya kalau mau dicari titik temunya mudah kok - seperti kata Gus Tofa - yang susah itu menurunkan ego masing² kelompok!
Tapi OK lah, saya tidak ingin semakin memperkeruh perdebatan itu. Saya bukan ahli agama, juga bukan ahli ilmu falak/astronomi. Tulisan kali ini saya cuma ingin sekedar berkontribusi, sharing sesuatu, barangkali bisa membantu khalayak awam untuk sedikit lebih memahami, kenapa bisa sampai terjadi situasi seperti sekarang ini. Syukur² kalau dengan materi sharing kali ini bisa menggugah para pengambil keputusan, untuk segera mencari jalan keluar yang sebaik²nya, bagi umat secara keseluruhan... bukan hanya untuk satu golongan saja.
Disini saya melakukan "sedikit usaha kecil tidak berarti" : mencoba mensimulasikan (jika situasinya masih sama seperti sekarang) kapan saja sih terjadinya "potensi" perbedaan dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri?
Proses tabulasi saya buat dengan merekapitulasi hasil perhitungan (hisab falaqi) waktu² tersebut, sampai range beberapa tahun ke depan. Disini saya baru menghitung sampai tahun 2050 saja (mengingat agak kejar tayang materi yang ini, mengambil moment sebelum datangnya lebaran Idul Fitri besok). Tadinya sebetulnya cita² saya pengin menghitung sampai tahun 2100, dengan pertimbangan saya bisa mewariskan hasil kerja ini untuk putri saya tercinta, sampai dia berumur 97 tahun! Wkwkwkwk... Tapi apa daya, karena satu dan lain hal akhirnya ya cuma sampai tahun 2050 dulu ini saja lah yang saya launch dulu. Mungkin nanti kalau berikutnya ada waktu senggang اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ saya lanjutkan project sisanya. Lihat ntar aja deh... Atau mungkin ada pembaca yang berminat untuk "mengambil alih", melanjutkan perhitungan, atau melakukan koreksi? Monggo, dipun sekecakaken. Saya welcome kemawon...
Oyah, dalam project ini untuk keseluruhan proses perhitungannya saya menggunakan software Accurate Hijri Calculator versi 2.2.1, karya dari seorang anak bangsa : Abdurro'uf (dulu mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, entah sekarang). Tentang software ini bisa saya ceritakan sedikit, dibuat dengan mengadopsi sebuah software yang sudah sangat terkenal akurasinya, banyak digunakan sebagai acuan dalam dunia astronomi, terutama di negara² Islam. Nama programnya Accurate Times, dibuat oleh Mohammad Odeh, seorang ahli ilmu falaq dari Turki. Beliau ini juga sekaligus sebagai chairman International Astronomical Center (IAC). Software Accurate Times juga digunakan sebagai official software di Kementerian Agama Islam di negara Jordan & Uni Emirate Arab.
Program Accurate Times (dan dengan sendirinya juga berarti program Accurate Hijri Calculatornya Abdurro'uf) dibuat dengan menggunakan algoritma Jean Meuus (yang juga umum digunakan sebagai algoritma standard oleh NASA & lembaga² astronomi dunia lainnya), disusun khusus untuk menghitung prayer times (waktu² peribadatan agama Islam seperti shalat, puasa Ramadan, dll), terutama untuk kebutuhan penentuan waktu peribadatan dan hari² besar keagamaan di negara² jazirah sana.
Nah si anak bangsa ini - Abdurro'uf - mengadopsinya dan membuat program sejenis, khusus untuk perhitungan waktu lokal Indonesia. Sungguh program yang sangat berharga sebetulnya. Namun entah kenapa kok belum terdengar gaungnya penggunaan software ini di Indonesia sendiri.
Berbicara mengenai khususnya carut-marut penentuan waktu awal Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal, secara garis besar di Indonesia saat ini terbagi menjadi 3 golongan utama, dengan metode, kriteria dan dalil landasannya masing², yaitu :
1. Metode Rukyatul Hilal. Terutama dianut oleh golongan Nahdlatul Ulama (NU). Dasarnya adalah visibilty hilal. Kriteria yang digunakan mengacu pada teorema Danjon, bulan bisa terlihat minimal dengan ketinggian 8° diatas ufuk.
2. Metode Wujudul Hilal. Terutama dianut oleh golongan Muhammadiyah (dan Persis). Dasarnya adalah hisab falaqi (murni perhitungan astronomis). Kriteria yang digunakan adalah wujud tidaknya hilal. Bulan baru dimulai pada saat bulan sudah wujud (terbitnya bulan baru sebelum terbenamnya matahari), berapapun derajat ketinggiannya, sepanjang lebih dari 0°.
3. Metode Imkanur Rukyat. Ini merupakan bentuk kompromi dari kedua kutub metode diatas. Ini digunakan sebagai metode resmi Pemerintah RI. Dasarnya adalah penentuan bulan baru didasarkan pada hasil hisab secara astronomi, dan pembuktian dengan pengamatan dilapangan. Kriteria yang digunakan adalah 2-3-8, tinggi minimal hilal 2°, elongasi 3°, dan umur bulan minimal 8 jam. Kriteria ini juga yang dipakai di negara² Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Brunei, dll.
Selengkapnya untuk menambah wawasan tentang hal ini, saya merekomendasikan bukunya pak Agus Mustofa "(Jangan Asal Ikut-ikutan) Hisab & Rukyat", boleh juga ditambahin judul lainnya "Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari". Bukunya yang lain dari seri Tasawuf Modern juga bagus² kok 😁, saya koleksi dan sudah baca beberapa buku² beliau, mantuuul... (OOT).
Tentang dalil landasan, atau yang mana yang paling benar untuk diikuti, saya serahkan kepada keyakinan pribadi masing² pembaca. Yang penting dalam hal ini, seperti kata Gus Tofa, anda memahami sepenuhnya apa yang anda yakini dan laksanakan. Tidak sekedar beribadat grubyak-grubyuk tanpa tahu apa makna & esensinya bagi anda pribadi. Nanti jadi seperti permainan anak² : grubyak-grubyuk meraba², mata ditutup, mencoba menangkap temannya.
Sebagai bahan referensi lain, boleh juga anda baca² link² berikut ini, saya coba ambilkan yang mewakili masing² "mahzab" :
https://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat
https://salafy.or.id/blog/2012/07/16/ketinggian-hilal-harus-20/
https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/02/analisis-visibilitas-hilal-untuk-usulan-kriteria-tunggal-di-indonesia/
https://langitselatan.com/2019/05/05/awal-dan-akhir-ramadan-1440-h/
Kembali ke laptop...
Targetnya sederhana, cuma membuat daftar/tabel waktu² terjadinya kedua momen tersebut (1 Ramadan & 1 Syawal) untuk satu rentang waktu ke depan, kemudian menandai hari² dimana akan terjadi perbedaan dalam pelaksanannya. Sesederhana itu..
Sedikit saya tulis disini hasilnya, untuk moment terdekat saja, yaitu Lebaran/Hari Raya Idul Fitri besok mendatang ini, tahun 2019/1440H. Ramadan tahun ini kebetulan kita awali bersama², yaitu pada hari Senin tanggal 6 Mei 2019. Namun berbeda dengan awal Ramadannya, hari raya Idul Fitri nanti - jika sesuai hasil perhitungan - BISA JADI kita akan merayakannya pada hari yang berbeda. Saya katakan "bisa jadi" karena dalam prakteknya mungkin saja hasil perhitungan saya meleset (yang menurut saya agak mustahil kemungkinannya hehehe...), atau karena dengan pertimbangan "ini & itu" maka pihak yang berbeda kemudian memutuskan untuk tidak berbeda, who knows? 😁. Nah kalau dari hasil perhitungan saya, terlihat bahwa pelaksanaan shalat Idul Fitri nanti akan berbeda hari, versi Pemerintah akan jatuh pada hari Rabu, 5 Juni 2019, sementara umat Muhammadiyah MUNGKIN sehari sebelumnya, yaitu hari Selasa 4 Juni 2019. Kenapa demikian? Karena dari hasil perhitungan saya bisa mengetahui, bahwa peristiwa konjungsi/new moon (bumi-bulan-matahari berada dalam 1 garis geosentris) - dalam bahasa Arab disebut Ijtimak (lihat wikipedia untuk "ijtimak") - terjadi pada hari Senin 3 Juni 2019 jam 17:01:51 WIB, atau sekitar 00jam:16menit:52detik SEBELUM terjadinya waktu pergantian hari jam 17:18:47 (dalam kalender Hijriyah waktu pergantian hari adalah pada saat Maghrib/sunset/matahari terbenam). Catatan : penghitungan ini menggunakan data lokasi pengamatan Kota Surabaya sebagai input lokasi pada software. Nah, dari hasil tersebut bisa disimpulkan :
- Metode Wujudul Hilal akan berkesimpulan bahwa HILAL SUDAH WUJUD, karena fakta empirisnya adalah bulan sudah terbit di atas ufuk, berapapun derajat ketinggiannya atau umurnya. Berarti saat itu sudah masuk bulan baru (tanggal 1), dalam hal ini 1 Syawal 1440 H. Jadi puasa Ramadan sudah berakhir dan besok pagi sudah bisa melaksanakan shalat Idul Fitri.
- Dilain pihak yang berpegang pada kriteria visibility bulan yaitu Metode Rukyat akan berkesimpulan hilal PASTI tidak akan bisa dirukyat, karena umur & tingginya yang jauuuh dibawah kriteria yang dipersyaratkan (tinggi 8⁰, umur 8 jam). Jadi bisa dipastikan golongan yang menggunakan metode & kriteria ini akan berhari raya Idul Fitri lusa, 2 hari setelah waktu pengamatan. Karena bulan sudah pasti tidak terlihat, maka ditempuh istikmal (penggenapan), berarti besok masih berpuasa Ramadan sehari lagi.
- Bagaimana dengan pihak Pemerintah dengan Imkanur Rukyatnya? Mohon maaf, terus terang saya sampai saat ini juga masih bingung dengan ambiguitas kriteria Imkanur Rukyatnya Pemerintah ini. Disatu sisi sudah "mengakomodasi" kepentingan hisab falaqi dengan menurunkan kriteria ketinggian hilalnya sampai 2⁰ sebagai batas minimal, namun dilain hal mensyaratkan juga batas umur minimal bulan adalah 8 jam?? Padahal kalau umur bulan sebesar 8 jam tersebut dikonversikan menjadi derajat ketinggian = 8⁰. Jadi masih tetap dong dengan kriteria lama standard Danjon yang 8⁰ itu?? Ada yang bisa memberi penjelasan kepada saya? .... Karena ambiguitas ini, maka dalam proses penyusunan tabulasi yang saya lakukan, saya harus memilih salahsatu kriteria sebagai patokan. Saya pilih persyaratan batas minimal 2⁰, atau 2:0:0 umur hilal sebagai limitasi. Jadi dengan melihat pada kriteria ini bisa dipastikan Pemerintah (melalui perangkat sidang itsbatnya) akan kerepotan bin pontang-panting mencari si hilal dimana-mana 😂. Karena ketinggian/umurnya yang beberapa menit saja bisa dipastikan MUSTAHAL eh MUSTAHIL sang hilal bisa ketangkep. Jadi bisa dipastikan kesimpulan sidangnya adalah akan sama dengan yang melaksanakan metode Rukyat, yaitu berhari raya Idul Fitri hari Rabu 5 Juni 2019 (lusa hari dari hari pengamatan).
Mana yang paling benar diantara kedua/ketiganya? Wallahu ta'ala bissawaab... Entah siapa, dan kapan, yang akan bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan yang super duper pelik itu. Untuk sementara waktu, kita para umat di akar rumput ini ya monggo lah berbijak² menyikapinya, tetap saling bertoleransi, rukun, tapi juga terus menggali pemahaman yang lebih mendalam tentang keyakinannya sendiri. Tetap banyak hal yang masih harus dipelajari, bersama², kita semua....
Wassalamu 'alaikum
Taqabalallahu mina wa minkum
Tabel & software silahkan ambil disini : 👇
Tabel Prediksi Perbedaan Awal Ramadan & Idul Fitri 2019-2050, pdf xlsx
Software Accurate Hijri Calculator v2.2.1 Abdurro'uf
Software Accurate Times, Mohammad Odeh
Jangan pernah berhenti belajar
SALAM PUSTAKA
No comments:
Post a Comment